Gorontalo, KABARindo.News – Penjarahan kawasan konservasi kembali mencuat di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Praktik Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di kawasan Cagar Alam (CA) Potabo kian terang-terangan dilakukan, dan lima nama kembali mencuat ke permukaan sebagai aktor dominan: Parman, Kupa, Saidi, Utun, dan Gaisi.
Kelima sosok ini diduga kuat menjadi pengendali utama operasi PETI di wilayah konservasi yang semestinya steril dari segala bentuk eksploitasi ekonomi. Saat awak media melakukan konfirmasi pada Jumat (18/07), seorang narasumber yang memahami struktur jaringan tambang ilegal tersebut menyebut bahwa kelimanya “seakan kebal hukum.”
“Mereka seperti raja-raja kecil di dalam hutan. Ada alat berat, ada tenda-tenda, ada pengamanan terselubung. Tapi tidak ada kontribusi sedikitpun untuk masyarakat sekitar. Bahkan bantuan sosial pun tak pernah mereka pikirkan,” ungkap narasumber yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Berdasarkan informasi lapangan, masing-masing dari mereka—Parman, Kupa, Saidi, Utun, dan Gaisi—memiliki titik operasi tambang yang berbeda di dalam kawasan CA Potabo. Aktivitas dilakukan dengan menggunakan alat berat jenis excavator. Skala dan pola operasi menunjukkan bahwa ini bukan aktivitas rakyat biasa, melainkan operasi terstruktur dengan modal besar dan perlindungan sistemik.
Lebih mencengangkan, aktivitas ini diduga mendapat perlindungan dari oknum aparat yang disebut-sebut turut mengatur lalu lintas alat berat dan logistik ke lokasi. “Kalau bukan karena ada yang bekingi, tidak mungkin mereka bisa bertahan selama ini. Ini kawasan konservasi, tapi ekskavator bisa masuk seperti di halaman rumah sendiri,” imbuh narasumber tersebut.
Masyarakat di sekitar kawasan mengaku tidak pernah merasakan manfaat dari keberadaan tambang ilegal tersebut. “Kami hanya dapat kerusakan lingkungan. Air menjadi keruh, suara mesin terus berdengung, tapi tidak pernah sekalipun ada bantuan sosial atau perhatian untuk warga sekitar,” ujar seorang warga desa yang enggan disebutkan namanya.
Hingga kini, belum ada tindakan hukum tegas dari aparat, meskipun nama-nama tersebut bukan lagi rahasia. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, serta UU Kehutanan dan UU Pemberantasan Perusakan Hutan jelas melarang aktivitas tambang di kawasan konservasi dengan ancaman pidana hingga belasan tahun. Jika benar terdapat keterlibatan oknum aparat, maka hal itu mempertegas adanya sistem perlindungan ilegal yang melumpuhkan supremasi hukum.
Lemahnya respons dari aparat penegak hukum menjadi sorotan utama. Banyak kalangan menilai, pembiaran terhadap lima nama tersebut bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga mencoreng wajah hukum dan kehormatan institusi negara. “Kalau mereka terus dibiarkan, ini bukan lagi soal tambang, tapi soal siapa sebenarnya yang berkuasa di negeri ini,” tegas salah seorang tokoh lokal.
Cagar Alam Potabo bukan sekadar hamparan hutan, melainkan warisan ekologis yang dilindungi undang-undang. Saat eksploitasi dibiarkan, dan para pelaku seolah kebal hukum, maka pertanyaannya bukan lagi siapa yang menambang, tetapi siapa yang diam?
TimRED