Gorontalo, Kabarindo.News – Praktik jual beli lahan yang diduga berlangsung di kawasan Cagar Alam (CA) di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, kembali menuai sorotan tajam. Pasalnya, selain diduga melanggar peraturan perundang-undangan tentang kehutanan dan lingkungan hidup, kegiatan ini juga ditengarai menjadi dalih pembenaran bagi aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang semakin merusak ekosistem hutan, pada Kamis 24/07/2025.
Publik mendesak Aparat Penegak Hukum (APH), dalam hal ini Polri dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), khususnya KPH Wilayah III Pohuwato, untuk segera mengambil langkah penyelidikan yang serius dan terukur atas dugaan praktik ilegal ini. Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, menyebut sejumlah nama seperti Kupa, Kude, Parman, Saidi, Gaisi, dan Une yang diduga terlibat dalam transaksi jual beli lahan di kawasan yang secara hukum ditetapkan sebagai Cagar Alam Potabo.
“Pertanyaannya sederhana: apakah sah menurut hukum melakukan jual beli lahan di atas kawasan konservasi yang jelas-jelas masuk dalam wilayah Cagar Alam? Ini harus dijawab secara tegas oleh negara melalui penegakan hukum yang objektif,” ujar salah satu sumber terpercaya yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Dugaan ini bukan isapan jempol belaka. Investigasi awal menemukan sejumlah alat berat jenis excavator yang tengah beroperasi di wilayah tersebut, serta kondisi kawasan yang sudah mengalami kerusakan parah dan kehilangan tutupan vegetasi alami.
Menurut seorang tokoh masyarakat, perusakan yang terjadi tidak hanya melanggar etika ekologis, tetapi juga mencederai supremasi hukum negara. Ia menilai, pengabaian terhadap status kawasan Cagar Alam sebagai wilayah konservasi merupakan bentuk pembangkangan terhadap hukum dan ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan di wilayah Pohuwato.
“KPH Wilayah III Pohuwato tidak bisa tinggal diam. Mereka memiliki mandat struktural dan moral untuk menindak tegas pelaku PETI di kawasan konservasi. Pembiaran adalah bentuk kompromi terhadap pelanggaran hukum dan kehancuran lingkungan,” tegas tokoh tersebut.
Regulasi yang Dilanggar:
- UU No. 5 Tahun 1990 Pasal 19 Ayat (1): Melarang setiap orang melakukan aktivitas yang dapat mengubah keutuhan kawasan suaka alam.
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan: Menegaskan bahwa kawasan hutan negara, termasuk Cagar Alam, tidak dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan.
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Memberikan dasar sanksi administratif, perdata, dan pidana terhadap perusakan lingkungan.
- UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, Pasal 158: Mengatur pidana bagi pihak yang melakukan penambangan tanpa IUP, dengan ancaman pidana maksimal lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Konsekuensi Hukum:
Jika praktik ini terbukti, para pelaku dapat dijerat dengan sanksi pidana kumulatif atas pelanggaran terhadap regulasi kehutanan, konservasi, lingkungan, dan pertambangan. Selain itu, negara melalui aparatnya dapat melakukan penyitaan alat berat, penindakan administratif, serta pemulihan kawasan terdampak.
Tokoh masyarakat tersebut juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang tidak diskriminatif, tanpa memandang status sosial atau kekuatan modal para pelaku.
“Jika negara gagal bertindak tegas terhadap para perusak kawasan konservasi, maka hal itu akan menjadi preseden buruk bahwa hukum hanya berlaku untuk yang lemah, dan kerusakan lingkungan akan terus dianggap sebagai konsekuensi yang bisa dibeli,” pungkasnya.
Desakan kini mengarah kepada KPH Wilayah III Pohuwato, agar tidak hanya menjadi institusi administratif, tetapi benar-benar menjalankan peran strategis dalam perlindungan kawasan hutan dari aktivitas ilegal yang terstruktur dan sistematis.
Jika tidak ada langkah tegas, publik khawatir bahwa fungsi ekologis kawasan Cagar Alam Potabo akan punah, dan generasi mendatang hanya akan mewarisi kisah tentang hutan yang pernah ada.
Red-M.DT