Gorontalo, Kabarindo.News — Aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di kawasan Cagar Alam (CA) Potabo, Kecamatan Buntulia, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, kian menjadi ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan, keselamatan warga, dan wibawa hukum di republik ini.
Berdasarkan video dokumentasi yang diterima redaksi pada Kamis (31/7/2025), tampak jelas satu unit alat berat jenis Excavator tengah beroperasi menggali tanah di wilayah hutan Potabo yang masuk dalam kategori kawasan konservasi. Praktik ini tidak hanya melanggar ketentuan hukum lingkungan, tetapi juga mencederai keadilan sosial, terutama bagi masyarakat lokal yang selama ini menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan sumber air bersih.
Meski identitas kepemilikan lahan masih menjadi tanda tanya, beberapa nama disebut-sebut berada di balik pendanaan aktivitas tambang ilegal ini, yakni individu berinisial Kupa, Parman, Saidi, Une, Gaisi, dan Kude. Diduga kuat, mereka beroperasi di bawah perlindungan oknum aparat dari institusi TNI maupun Polri. Jika dugaan ini benar, maka hal tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang harus diusut tuntas.
Regulasi Dilanggar, Rakyat Dikorbankan
Kegiatan ini secara nyata telah melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan:
- UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menegaskan bahwa kegiatan pertambangan wajib memiliki izin resmi dari pemerintah pusat. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang melarang setiap bentuk kegiatan eksploitasi di kawasan hutan lindung dan cagar alam tanpa izin resmi. Pelaku dapat dijerat pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku perusakan lingkungan secara sistematis.
Dampak ekologis dari PETI ini sudah sangat terasa: sedimentasi berat di aliran sungai, kerusakan habitat flora-fauna, terganggunya sistem irigasi petani sawah, hingga potensi bencana banjir dan longsor akibat kerusakan struktur tanah. Lebih dari itu, aktivitas tersebut menempatkan warga sipil dalam posisi paling rentan atas risiko kesehatan dan keselamatan.
Ketiadaan tindakan tegas dari Aparat Penegak Hukum (APH), baik Kepolisian maupun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), memunculkan pertanyaan mendasar: apakah hukum masih memiliki taring di negeri ini? Apakah negara telah kehilangan kendali atas kedaulatannya sendiri di kawasan konservasi yang secara hukum dilindungi?
Jika aparat justru menjadi bagian dari skema perlindungan terhadap pelaku kejahatan lingkungan, maka ini bukan sekadar soal pelanggaran hukum, melainkan krisis moral dan kehancuran integritas institusi. Negara seharusnya tidak memberi ruang kompromi bagi bentuk apapun dari pertambangan ilegal, terlebih lagi yang berlangsung di kawasan konservasi.
Masyarakat sipil, akademisi, LSM lingkungan, dan jurnalis telah berkali-kali menyuarakan keprihatinan mereka. Namun suara mereka seolah terhempas oleh bisingnya mesin-mesin tambang dan sunyinya respon dari penegak hukum. Oleh karena itu, publik mendesak :
Kapolda Gorontalo untuk segera membentuk Tim Investigasi Independen guna mengusut dugaan keterlibatan oknum aparat.
Dinas Kehutanan dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk melakukan pemetaan ulang dan penjagaan ketat terhadap zona konservasi Potabo.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komnas HAM, untuk turun tangan mengawasi aliran uang dan potensi pelanggaran hak-hak masyarakat sekitar.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengambil alih penanganan kawasan CA Potabo jika APH lokal terbukti abai.
Ketiadaan tindakan bukanlah netralitas, melainkan keberpihakan terhadap ketidakadilan. Ketika hukum dibiarkan tunduk pada uang dan kuasa, maka kehancuran lingkungan dan masa depan anak bangsa hanyalah tinggal menunggu waktu. Red-MD